Photobox (Sebuah Cerpen)

 

Sumber: dokumentasi pribadi



“Ayo cepet! Keburu hujannya makin deras!”

Tanpa bicara, Citra dengan cekatan meraih tangan Endra yang melangkah cepat di depannya.

Setelah melewati beberapa kubangan, akhirnya mereka berhasil berdiri di bawah naungan atap toko kelontong.

“Kayanya nggak jadi lagi deh ini ya?” mata Citra harap-harap cemas menatap Endra. Seolah memberi kode bahwa Endra harus tetap optimis agar semangat Citra tidak pupus.

Endra melihat Citra sekilas kemudian melihat ke arah jam tangannya. “Dilihat aja dulu,”

Siang tadi Citra merengek ketiga kalinya untuk photobox bersama Endra. Sudah dua kali ia meminta agar Endra datang tepat waktu saat kencan. Sayangnya si Endra selalu datang terlambat. Jangan salahkan jalanan kota yang macet, tapi sistem jadwal yang molor sudah mendarah daging dalam tubuh Endra. Hal itulah yang membuat mereka berdua gagal photobox dua kali.

Sore itu, Citra sudah optimis kalau Endra bisa pulang kerja tepat waktu dan segera menjemputnya. Tapi sepertinya semesta tidak berkenan memenuhi ekspetasi Citra. Malahan, Citra harus berangkat sendiri ke tempat kencan mereka dengan ojol. Biasalah, Endra telat pulang kerja (lagi).

Sudah berulang kali Citra membuat kesepakatan dengan Endra, tapi apa jawab pria itu? ‘Belum tentu kalau nanti kamu kerja bakal nggak lebih sibuk dari aku,’. Andalan, keluh Citra dalam hati. Memang masuk akal apa yang dikatakan Endra, tapi jangan jadikan kemungkinan itu sebagai senjata, dong. Akhirnya Citra menunggu sekitar 30 menit sebelum akhirnya Endra datang dengan kemeja polo berwarna navy dipadukan dengan jeans medium dan sneakers.

Jarum jam terus berjalan diiringi hujan yang semakin reda. Endra kembali melihat jam tangannya kemudian menatap Citra yang terlihat kedinginan. Jelas saja Citra merasa dingin, sebab ia hanya mengenakan knit long sleeve, skinny jeans, dan flat shoes. “Ayo,” Endra memberi tangan kanannya pada Citra agar digandeng.

Mereka berdua segera menuju motor Endra yang terparkir tidak jauh dari situ. Endra menarik kedua tangan Citra agar pegangan pada dirinya. “Modus ih,” Citra mencubit perut Endra yang sedikit buncit. “Biarin, kan sayang.” jawab Endra.

Endra dan Citra melaju menuju salah satu mall besar di kota itu. Mall yang selalu ramai. Sejujurnya Citra ingin sekali menanyakan apakah mereka bisa foto di photobox, tapi rasa malu Citra mengalahkan keinginannya. Perbedaan umur keduanya yang cukup jauh membuat Citra menahan diri dalam beberapa hal. Termasuk hal-hal childish dan grusa-grusunya.

Endra merengkuh sela-sela jari Citra. Berjalan beriringan di atas aspal yang masih basah dan tetesan air sisa hujan ditambah pemandangan lampu kota. Ah, indahnya masa pacaran. Mereka berjalan menuju dalam mall. Terdengar alunan lagu Wonderful Tonight milik Eric Clapton.

It's late in the evening
She's wondering what clothes to wear
She puts on her makeup
And brushes her long blonde hair

And then she asks me
"Do I look all right?"
And I say, "Yes, you look wonderful tonight"

Citra mengeratkan pegangan tangannya. Begitu pula Endra.

“Sudah pukul 9, mau coba cek photobox?”

Citra mengangguk semangat. “Eh bentar, tadi aku kan kehujanan. Takut nggak oke, aku ke kamar mandi bentar ya?”

Endra mengambil ponselnya dari saku kemudian membuka kamera depan. “Lihat, cantik gini. Nggak ada yang luntur. Tetap cantik dan bikin aku makin sayang,”

Citra tidak bisa menahan semringah. “Makasih,” jawab Citra. Kemudian ia menggandeng tangan Endra lagi.

Sesampainya di tempat photobox, syukurlah tempat foto itu belum tutup. Setelah membayar, mereka masuk ke dalam dan berfoto. Berbagai gaya foto dan template background mereka coba. Hasilnya lucu. Perbedaan umur mereka hanya sebuah angka, buktinya foto mereka terlihat seumuran. Entah Endra yang terlihat lebih muda atau malah Citra yang terlihat lebih tua. Upsie.

Hal yang menarik dan masih berbekas di ingatan Citra yaitu pada saat Endra merapikan rambut kemudian bertanya pada Citra, “Udah rapi belum rambutku?”. Tanpa jawaban, Citra langsung menyisir rambut Endra dengan jari-jari tangannya. “Udah,” jawab Citra sambil tersenyum.

Citra bergeming, kolase momen dalam otaknya mengirim beberapa ingatan. Ia menyadari bahwa ia dan Endra sering menanyakan “Uda ok belum?” atau “Udah bagus?” pada satu sama lain.

“CITRAAAA!!”

Terdengar suara gedoran pintu begitu keras. Memekakkan telinga.

Citra tersentak. “Udah dipanggilin dari tadi juga. Ayo cepat turun, makan. Kamu pengen tipesnya kambuh ya? Pengen tidur di ranjang rumah sakit lagi?”

Itu Ayunda, kakak Citra yang paling perhatian sekaligus cerewet. Komentator handal di rumahnya. Ia sudah menikah setahun yang lalu, tapi belum dikaruniai momongan. Jadi bila weekend, ia dan suaminya menginap di rumah orang tua Ayunda.

“Bentar lagi,” jawab Citra malas-malasan.

“Kamu udah bilang bentar dari tadi pagi pas sarapan ya!” Ayunda berkacak pinggang.

“Nggak laper,” jawab Citra.

“Hih. Alasan. Aku nggak terima alasan apapun. Maksimal 10 menit lagi sudah di meja makan. Sampai nggak dateng, aku nggak akan beliin novel-novel lagi,” ancam Ayunda.

“Ah nganceman. Nggak seru,”

“Lah dipikir ini film action pakai harus seru segala?” Ayunda mendengus. “Sudah ah, 10 menit lagi pokoknya. Cepetan!” Ayunda menutup pintu kamar Citra dengan kasar.

Ternyata Citra hanya sedang bermimpi. Malam itu adalah malam ketujuh setelah Citra meminta putus dari Endra. Citra kira Endra berbeda. Citra kira, dengan perbedaan umur mereka, Endra tidak akan melakukan hal-hal konyol seperti yang mantan-mantan Citra lakukan. Ternyata ekspetasi Citra yang terlalu tinggi. Endra hanya lelaki. Berapapun usianya, boys will be boys. Hanya laki-laki yang paham posisi dan tanggung jawab layak disebut sebagai pria. Yang jelas, di mata Citra, Endra bukan seorang pria.

Meskipun begitu, bukan berarti Citra memutus hubungan pertemanan dengan Endra. Citra masih berteman, tentu saja. Citra juga masih sayang. Sayangnya persoalan selingkuh adalah hal yang lain—tidak ada toleransi.

Citra memutuskan mendengar satu lagu dari radio sebelum turun untuk makan.

It's late in the evening
She's wondering what clothes to wear
She puts on her makeup
And brushes her long blonde hair

And then she asks me
"Do I look all right?"
And I say, "Yes, you look wonderful tonight"

We go to a party
And every one turns to see
This beautiful lady
Who's walking around with me

And then she asks me
"Do you feel all right?"
And I say, "Yes, I feel wonderful tonight"

I feel wonderful because I see the love light in your eyes
Then the wonder of it all is that you just don't realize
How much I love you

It's time to go home now
And I've got an aching head
So I give her the car keys
And she helps me to bed

And then I tell her
As I turn out the light
I say, "My darling you were wonderful tonight"
"Oh, my darling, you were wonderful tonight"

Citra mendengus lalu menghela nafas panjang. “It’s okay. Badai pasti berlalu,” ia memantapkan diri. Ia segera berdiri dan berjalan menuju pintu kamar.

Ting

Citra menghela nafas pendek kemudian membalikkan badan dan menuju ke sumber suara. Sebuah pesan.

Hai Cit. Mungkin kamu lihat aku sebagai laki-laki berengsek yang nggak bertanggung jawab. Yes, you were right. Seminggu kemarin aku mikir terus dan keputusanku bulat. Nggak ada lagi namanya main cewe, Cit. Semuanya sudah aku selesaiin. Nggak ada lagi unfinished business, nggak akan ada lagi. Aku bisa jamin itu. Aku bener-bener sayang kamu. Cukup sekali aku kehilangan kamu. Aku nggak mau kamu pergi lagi dari hidupku.

Cit, mungkin kamu nggak bakal expect aku ngomong kaya gini, tapi aku 1.000% udah yakin sama keputusan ini. Cit, I can’t help falling in love with you, so will you marry me?

Citra menutup ponselnya. Jantungmya berdegup kencang. Tanpa koordinasi, angin menerobos dari jendela kamar, membuat matanya panas. Citra jatuh terduduk di kasur, menangis.

--

Surabaya, 7 November 2021

Margaretta Puspa Dewi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku (Cerpen)

Rani, Manusia Ajaib yang Tidak Bisa Menangis (Cerpen)

Antologi Puisi (Bagian 5)