Cerbung Hai! (Episode 1)



 Hai!
Cerbung (cerita bersambung) oleh Margaretta Puspa Dewi


Eps. 1: Berhati-hati

 

Aku melangkahkan kaki menuju ruangan serba putih. Tepat di depanku. Dingin dan sangat hening. Ku rasa dia menurunkan suhunya hingga ke suhu terendah. Sungguh, dingin sekali. Aku mengeratkan syal yang kugunakan, merapikan jaket yang kupakai. Aku memantapkan diri untuk duduk di sana untuk kesekian kalinya. Padahal ini bukan yang pertama, tapi hatiku tetap belum bisa menerima keadaan dan kehidupanku ini.

 

“Selamat pagi. Silakan masuk.” Bu Vanda menyambutku dengan ceria, seperti biasa. Aku tidak menjawab. Aku hanya tersenyum, menaikan alis, dan menghela sedikit napas sebagai tanda rasa terima kasih telah disambut hangat. 

“Bagaimana kabarmu?”

“Sehat terima kasih,” aku mengambil air mineral yang disajikan di depanku.

“Hey, what’s news? Ada perkembangan apa dari sesi yang lalu?,” dia mengernyitkan alis.

 

Sesi tak berlangsung lama kali ini. Selepas sesi yang kurasa tak ada kemajuan ini, aku ingin minum kopi di salah satu kafe di ujung jalan. Aku berjalan sambil menikmati sejuknya kota ini. 

 

Aku melihat sekeliling, mengamati dan menikmati suasana di sekitarku dengan tenang. Aku mencoba mindfulness seperti kata Bu Vanda. Instrumental Maliq D’Essentials berjudul Dia mengalun lembut. Indah sekali. Hatiku merasa hangat.

 

Suara bel toko berbunyi membuyarkan rasa hangatku. Terlihat seorang pria masuk dengan ransel hitam. Dia berjalan memesan kopi. Aku memicingkan mata, mencoba mengidentifikasi. Ternyata dia duduk membelakangiku. Dia menyalakan laptop. Aku mencoba mengintip apa yang dia kerjakan. Situs lowongan pekerjaan. Otakku merasa menemukan sekeping puzzle. Apakah aku mempunyai puzzle tentang pria ini?

 

Setelah puas dengan kopi, aku memesan driver online untuk pulang. Aku berjalan keluar dari kedai kafe itu. Menunggu di pinggir jalan.

“Permisi,” seorang pria mendatangiku. “Kamu Renita?” tambahnya.

Aku bergeming. Seketika aku menoleh ke arah kursi dalam kafe. Kosong! Aku kembali menoleh ke pria itu.

“Maaf, kamu siapa ya?” kataku ragu.

“Aku Luke,” dia memberi tatapan seolah-olah berkata kamu beneran lupa? Kita punya banyak memori bersama.

“Luke? Luke siapa?” pandanganku buram. Gelap.

 

Aku terbangun lalu mengecek jam tanganku, sudah pukul 18.00. Aku mencoba mengigat-ingat apa yang terjadi karena aku terbangun dengan outfit luar rumah. Sayangnya, aku tidak berhasil. Di tengah-tengah perasaan kepayahan ini, kakakku datang, Razka.

“Gimana? Sudah enakan?” dia meletakkan nampan berisi jahe hangat dan bubur ayam.

“Udah sih, kayanya. Hahaha. Aku tadi kenapa ya, Kak?”

“Kamu tadi jatuh, terus dianter deh sama orang. Untung dia baik. Hati-hati, Dik, makanya. Kalau capai ya segera pulang,” omelnya.

“Lu-ke? Luke?” tebakku terbata-bata.

“Kamu ingat?”

“Ingat apa?” alisku naik.

“Oh nggak. Bukan. Iya, kamu diantar cowok. Tadi kakak nggak sempat tanya namanya. Katanya teman kuliahmu dulu. Kalau tidak salah ya,” jelasnya. Aku tidak menghiraukannya. Mengalihkan fokus ke bubur ayam favoritku. 

“HP-mu bunyi, Dik. No name. kalau aneh-aneh langsung blokir saja ya,” pintanya.

Aku mengangguk.

“Halo?”

“Hai. Syukurlah kalau sudah bangun. Dari tadi aku coba telepon tapi tidak diangkat,” jelasnya. Aku langsung mengecek log panggilan. Betul, 5 panggilan tak terjawab dengan waktu panggil beragam.

“Maaf, siapa ya?”

“Aku Luke. Yang tadi anter kamu.”

“Maaf. Maaf sekali, aku pernah gagar otak ringan, jadi amnesia parsial,” aku sungguh merasa bersalah. Aku takut melupakan orang-orang yang pernah mengukir hal indah denganku.

“Oh ya? Ah okelah. Lain waktu aku menghubungi kamu lagi ya. Selamat istirahat.”

Aku merasa sedikit ngeri dengan kakakku karena ia menatap—mengawasiku.

“Siapa, Dik?”

“Tadi yang antar aku Luke ya?”

“Jangan-jangan yang telepon tadi si cowok namanya Luke ya?”

“Iya,”

“Dik, sekarang itu kita, khususnya kamu, harus hati-hati. Banyak orang jahat. Kita harus waspada. Jangan cepat percaya dengan orang. Kamu habis sak—”

“Cukup.”

Razka mengehal napas panjang. “Kakak sayang sama kamu, Dik. Selalu hati-hati ya, Dik.”

Dia berjalan keluar kamar dan menutup pintuku perlahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku (Cerpen)

Rani, Manusia Ajaib yang Tidak Bisa Menangis (Cerpen)

Antologi Puisi (Bagian 5)