Rani, Manusia Ajaib yang Tidak Bisa Menangis (Cerpen)

Awal mula kisah ini dimulai dari pertemuan terakhir Rani dengan pria bernama Rino. Entah apa yang dikatan Rino saat itu, namun semenjak itu, Rani menutup kedua matanya dengan kain yang diikat rapat. Konon katanya, Rani membiasakan diri untuk substitusi indra visualnya dengan indra lain miliknya: pendengaran, penciuman, dan peraba.

 

Setelah 2 tahun kejadian itu, tetangga-tetangga di sekitarnya menanyakan kemampuannya yang makin terkenal. Rani pun diundang ke acara yang menaikkan ketenarannya.

“Hal apa yang membuat Anda nyaman melakukan seperti ini?”

Rani tersenyum dan menjawab bahwa dia bangga karena sejak kejadian itu, dia tak pernah menangis.

“Bagaimana bisa? Apakah Anda tidak mendengar cerita teman Anda? Lagu sedih? Film yang mengharukan?”

Rani menggelengkan kepala, dia menjawab dia tak jarang menikmati tontonan yang ditanyakan pewara.

 

Hasil undangan di acara-acara populer itu membawa perubahan yang baik baginya. Hidupnya jadi lebih mapan. Setidaknya itu yang dilihat orang. Beberapa tahun setelahnya, para tetangga tak lagi melihat Rani duduk di depan rumah sambil mendengarkan radio atau siniar favoritnya. Salah satu tetangganya, Rama, berinisiatif untuk mengetuk dan menelusuri seluruh penjuru rumah. Setelah sekitar 15 menit mencari, Rama mencium aroma bangkai di belakang rumahnya. Ada seorang perempuan cantik yang mengenakan terusan panjang berwarna salem, rambutnya dikuncir tinggi, wajahnya dipoles riasan sederhana yang menawan. Namun tetap, perempuan itu mengenakan penutup mata yang terikat kencang. Di tangan kirinya terdapat kertas bertuliskan:

Aku hidup dalam kepalsuan. Tidak ada yang percaya, semua menyalahkan. Kamu boleh melihat kebenarannya dengan membuka pengikat mataku. Terima kasih sudah menolong. Semoga hal-hal baik kembali padamu. Rama perlahan membuka pengikat mata Rani. Yang ia temukan adalah sebulat wajah cantik tanpa bola mata.

 

 

Surabaya, 13 Maret 2024

12.03

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku (Cerpen)

Antologi Puisi (Bagian 5)