Buku (Cerpen)

Buku

Aku menghela napas panjang. Menuntaskan buku setebal ini merupakan hal yang tak pernah mudah. Kuambil botol yang kubawa dari rumah. Kuteguk beberapa kali hingga kerongkonganku lega. Kuletakkan kembali buku tebal ini di samping kananku.

            Sore ini, suasana danau begitu menyenangkan. Air danau berkilau keemasan akibat semburat mentari sore. Beberapa daun jatuh terdorong angin syahdu yang semilir. Ada satu-dua keluarga bebek yang berenang tenang. Aku melihat hal-hal kecil ini dan merasa bersyukur.

            Kadang dalam hidup, kita terlalu fokus pada hal-hal yang tidak dalam gapaian kita. Fokus pada hal-hal yang besar dan tinggi. Namun, melupakan hal-hal kecil yang harusnya kita syukuri. Seperti sore ini. Aku menyadari, aku terlalu fokus pada hal-hal yang tidak dalam jangkauanku, aku fokus pada hal-hal yang tidak bisa kumiliki.

            Aku menghela napas panjang lagi. Kuintip sampul buku tebal ini. Nampak dua insan sedang saling melempar senyum tengah mengenakan seragam SMA.

            Saat aku asyik melamun, melihat semburat cahaya di air danau, angin berhembus kencang dan membawa lari salah satu kertas dari buku tebal itu. Tentu, aku mengejarnya. Berupaya mengambil bagian kecil dari buku tebal itu. Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Aku berlari sambil meraih udara, berharap kertas itu segera menempel pada tanganku. Kertas itu terbang terlalu tinggi. Terusan panjangku ikut melambai-lambai menghiasi danau. Untungnya pita belakang terusanku cukup kukuh untuk tidak ikut terbang.

            Rasanya cukup jauh aku berlari. Cukup jauh hingga aku sudah tidak melihat buku tebal dan botol yang kutinggalkan di kursi samping danau lagi. Aku berusaha mengikhlaskan kertas itu. Aku berusaha merelakan apa yang mungkin saja ditakdirkan untukku. Mungkin memang benar, seberapa kuat pun manusia berusaha, tapi bila Dia tidak menghendaki, maka sia-sialah usaha manusia itu.

            Aku memutuskan berjalan gontai. Kembali menuju kursi yang kutinggal. Hal sial kedua terjadi: bukuku hilang! Bukan hilang diambil orang atau bahkan dimakan unggas atau hewan lainnya. Lebih parah lagi! Setiap kertas dari buku tebal itu berhamburan diporak-porandakan angin. Rasanya aku ingin menangis. Tetapi aku sudah tak memiliki energi untuk menitihkan air mata.

            Aku melanjutkan jalan gontaiku menuju kursi. Kupandangi buku tebal yang kusayang itu, meski yang sekarang tinggal kerangka sampulnya.

            Harusnya aku tidak fokus mengejar yang selembar tadi.

            Harusnya aku mengelem buku tebal itu.

            Harusnya aku memperbaiki buku tebal itu sebelum kubawa keluar rumah.

           Atau malah, harusnya aku memang menyimpan buku tebal tua itu. Toh aku tidak membutuhkannya. Aku hanya rindu untuk membaca buku tebal itu, bukan benar-benar ingin membawanya kembali. Aku tahu buku itu sudah terlalu rapuh untuk dibawa pergi.

            Atau...

           Harusnya aku menguncinya atau bahkan menguburnya karena orang tidak perlu tahu mengenai isi buku tebal itu. Bahkan aku, tanpa membaca buku itu pun, hidupku terus berjalan. Masih banyak hal yang bisa kukerjakan.

            Harusnya aku..

            Harusnya.

             Pikiranku terus menarik mundur hal-hal yang seharusnya kulakukan. Pikiranku melanglang buana.

        Siapa sangka, berawal dari suasana yang indah, kukira hal tersebut akan bertahan selamanya. Ternyata hanya sekajap mata, semuanya berubah. Semuanya menjadi mimpi buruk.

            Surya semakin menuju pangkal. Sedang berjalan, hendak menyinari wilayah lainnya. Sedang aku menunduk lesu di bangku taman ini sendirian. Setidaknya begitu yang kupikirkan sampai aku mendengar suara manusia lain.

            Aku menyibakkan rambutku ke belakang telinga. Menajamkan indra pendengaranku untuk suara-suara samar yang mungkin benar, mungkin salah.

            "KENAPA SEMUA ORANG MENGECEWAKAN?!!!!"

            "Aaaaaargh!!"

            Suaranya meninggi. Sekarang sudah dapat dipastikan, itu suara manusia lain di sekitar danau ini. Aku segera membereskan rangka sampul buku dan botol minumku. Aku berjalan berjingkat menuju sumber suara. Layaknya orang yang tak ingin diketahui identitasnya, aku sembunyi-sembunyi, berusaha tidak ketahuan.

            Setelah suara makin terdengar jelas, aku berdiri di balik pohon besar—bersembunyi. Kuintip dengan rasa amat penasaran.

            Bluk!

        Botolku lepas dari genggaman. Aku menutup mulutku agar tidak teriak dan segera mengambil botolku perlahan.

            “Siapa itu?”

            Pria itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari siapa yang membuat suara.

            Aku juga akan ketahuan. Aku kan juga ingin bertanya kenapa dia teriak-teriak.

            Aku keluar dari persembunyianku.

            “Halo,” kataku ragu-ragu.

            Dia menoleh padaku, memicingkan mata.

          “Maaf lancang, aku tadi dengar suaramu dari kursi itu,” aku menunjuk kursi taman yang sempat kududukki.

            “Oh, oke. Kamu boleh duduk sini.”

            Aku berjalan menuju tempat duduk yang disilakan oleh pria tanpa nama itu.

            Aku menghela napas panjang, lagi.

            “Kenapa?” tanyanya.

            “Tidak apa-apa.”

            Kami memandangi danau dan langit malam. Tanpa suara.

            “Kamu memang tidak tanya, tapi aku ingin cerita.”

           “Go on,” jawabku singkat. Aku tak ingin berkomentar terlalu banyak. Selain belum saling kenal, aku juga ingin segera mendengar cerita darinya.

            “Aku pernah menyukai orang. Sangat suka. Kuberikan apapun yang kupunya padanya. Apapun. Bahkan yang tak kupunya, aku akan mengusahakannya. Apapun untuk dia. Kami akan menikah bulan depan,” pria itu membenamkan wajah ke lututnya.

            “Lalu?”

            “Tadi sore aku baru tahu kalau dia selingkuh. Dua bulan ini dia bilang ada work trip, ternyata itu hanya alasan.”

          “Ooh, maaf. Kamu pasti sedih banget,” ingin rasanya aku mengelus punggungnya sebagai rasa empati dan memberi penghiburan, tapi kami hanya dua manusia asing.

            “Jelas.”

            Hening.

            Tak lama, dia berdeham. Kemudian dia membuka obrolan lagi.

            “Sebenarnya aku tadi sempat lihat kamu mengejar angin.”

            No way! Ada yang lihat aku tadi!

            “Eeeh, hehe. Iya, tapi itu bukan mengejar angin. Aku tadi mengejar kertasku yang terbawa angin.”

            “Ooh, tidak kelihatan. Maaf.”

            “It’s okay.”

            Dia berdeham lagi, “Kalau boleh tahu, apa yang hilang? Sepenting itu kah?”

          “Hmmmm, tidak, sih. Sebenarnya tanpa kertas dan isi buku itu pun aku bisa hidup. Tetapi aku terlalu terbiasa dengan buku itu.”

            “Ooh, begitu. Maaf banget, isinya apa?” suaranya dipelankan seolah meminta izin.

            “Oh, cuma cerita.”

        “Tentang dia? Foto yang disampul? Maaf, kelihatan soalnya. Hehe,” dia menggaruk belakang kepalanya.

            “Iya,” jawabku singkat.

        “Aku kebetulan bawa sesuatu,” dia merogoh tasnya. “Ini,” dia menyerahkan satu pak kertas. Mungkin maksudnya untuk kuisi di rangka bukuku yang kosong.

            “Ah, iya, aku membutuhkannya, tapi apa tidak apa-apa? Ini utuh, lho.”

            “Boleh, supaya kamu bisa membuat cerita baru.”

        “Terima kasih,” aku menerima kertas itu lalu menaruhnya. Kemudian kulepas foto yang ada di sampul.

            “Lho, kenapa dilepas?” dia penasaran.

           “Kertas baru artinya buku baru. Percuma kalau kertas baru, tapi ceritanya sama. Aku mengapresiasi semua cerita yang pernah tertulis di buku ini, tapi rasanya semesta sepakat ingin aku menulis kisah baru. Lihat! Mereka semua hilang dibawa angin. Jadi, mari buat buku ini jadi chapter baru yang berkesan.”

 

Surabaya, 12 Juli 2024

Margaretta Puspa Dewi

            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rani, Manusia Ajaib yang Tidak Bisa Menangis (Cerpen)

Antologi Puisi (Bagian 5)