Belajar dari Semut

Siapa yang tidak tahu hewan kecil yang senang hidup bergerombol? Ya, semut!
Semut tak sekadar hewan kecil, ia bahkan dijadikan sebagai teladan.

Jembatan semut - HD Photos and Wallpaper Directory
Sumber: wallbee.us

    Semut merupakan serangga yang kerap kita temui di berbagai tempat. Coba ingat-ingat, sudah berapa semut yang sudah kamu bunuh secara sengaja mau pun tidak? Ya, banyak. Tidak terhitung. Tapi kenyataannya bahwa semut-semut itu masih ada, bahkan kadang kita merasa jumlahnya tak berkurang. Dalam ajaran Kristiani, Salomo menyuruh kita (re: orang pemalas) untuk belajar pada semut. Seperti yang sering kita lihat, semut memang serangga yang ramah dan pekerja keras. Pada musim panas, mereka mengumpulkan makanan. Bila mendapat makanan yang berukuran lebih besar dari tubuhnya, mereka akan memanggil teman-temannya untuk bergotong royong mengangkat makanan. Tak hanya itu, semut juga merupakan hewan yang senang berjabat tangan.

    Berbeda dengan semut, lalu bagaimana realitas manusia masa kini?
    Kemajuan zaman diiringi kemajuan teknologi tak hanya membawa pengaruh baik, namun juga pengaruh buruk. Pengaruh apa saja?

    Bila dibandingkan dengan cerita semut tadi, manusia era ini lebih senang mode instan dan bermalas-malasan. Banyak maunya tapi ngga ada usahanya. Kita manusia lebih senang hal-hal instan, lebih berorientasi pada hasil dari pada proses. Padahal dengan mengetahui proses, ilmu pengetahuan akan berumur lebih panjang. Contohnya, kita lebih senang makan nasi dari pada belajar menanak nasi, kita lebih senang menerima uang secara cuma-cuma dari pada berusaha mendapat uang. Padahal nalar kreatif, inovasi kita akan aktif bila kita menjadi kritis melalui sebuah proses. 

    Nilai relasi manusia pun ikut berubah seiring perkembangan zaman. Kemajuan zaman menuntut manusia untuk bisa memanfaatkan teknologi, tak terkecuali bidang komunikasi. Bila kita ingat kembali pada tahun-tahun sebelumnya, manusia lebih senang untuk tersenyum dan menyapa, bahkan berbincang untuk sekadar menanyakan kabar, tak peduli tempat. Pada saat ini, manusia lebih senang menjalin komunikasi menggunakan digital, bahkan banyak dari generasi muda tidak tahu bagaimana caranya menjalin relasi secara nyata. Sungguh tragis. 

    Berkaca pada kehidupan semut, seharusnya kita malu. Jangan malu untuk menjadi manusia baik yang memiliki budi pekerti luhur tapi jadilah malu bila kita tahu tradisi yang baik terkikis era modern dengan alasan 'kekinian'. Jangan menunggu orang lain untuk berubah, jadilah orang yang membawa perubahan. Bila bukan kita, lalu siapa lagi? Umur panjang untuk manusia-manusia baik. Tuhan memberkati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku (Cerpen)

Rani, Manusia Ajaib yang Tidak Bisa Menangis (Cerpen)

Antologi Puisi (Bagian 5)