TRAGEDI (Sebuah cerpen)
“Hm, besok kosong nggak?”
“Kosong apanya, nih?” Jawab
Chintya berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Waktu kamu itu, lho.
Senggang nggak?”
“Kalau senggang kenapa, kalau
enggak kenapa?” jawab Chintya ngasal sambil membereskan botol tumblrnya.
“Kalau enggak, ya, aku bakal
nyamperin kamu pas istirahat kaya biasanya. Kalau senggang, besok sore jalan,
yuk!” Ajak Riko.
“Kemana sih? Pandemi juga. Ngajak
jalan mulu kerjaannya. Besok aku.. kayanya aku lembur, deh. Pas istirahat aku
makan di kantor aja, aku bawa bekal. Dimarahi bos, nih. Keseringan kamu ajak
makan di luar.” Jawab Chintya sambil melet.
Riko adalah
pria berusia 24 tahun yang tempat kerjanya berada di sebrang kantor Chintya
bekerja. Riko sudah satu bulan ini intens untuk chat melalui whatsapp kepada
Chintya. Kalau kata orang, PDKT namanya. Tapi sepertinya Riko akan berujung
bertepuk sebelah tangan. Entah mengapa, Riko dengan badan tinggi, kulit sawo
matang yang bersih, rambut klimis, badan tegap, dan posisi pekerjaan yang baik
ini tidak bisa membuat Chintya merasa jatuh cinta. Padahal Riko sudah
mati-matian berusaha untuk menunjukkan perhatian dan perasaannya pada Chintya.
Tapi Chintya berlagak tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
Setelah
pertemuan keduanya di kantin, Chintya berjalan melenggang menuju kantor.
Meninggalkan Riko. Kemudian ia masuk ke bilik ruang kerjanya. Ruangan yang
begitu nyaman bagi dirinya, ruangan yang ia gunakan sebagai ruang kerja
sekaligus ruang makan dan ruang untuk menenangkan diri.
“Cieee
ketemuan lagi, nih.” Ejek Vina, teman kerja Chintya.
“Apaan sih,
Vin. Nggak jelas, deh.” Jawab Chintya tak acuh.
Ia
melangkahkan kaki lebih cepat dari sebelumnya. Ingin sekali rasanya segera
duduk di kursi nyamannya sambil menyeduh wedang jahe di tengah ruangan yang
ac-nya begitu dingin.
Hari ini
Chintya cukup lenggang karena tugasnya hanya sedikit. Awal bulan, tuntutan
tidak sebanyak tugas di akhir bulan. Ia sudah memegang cangkir yang berisi
wedang jahe. Ia meniup-niup wedangnya yang masih panas. Lalu ia teringat—menyadari
bahwa ia baru saja menginjak tahun yang baru. Tahun ke-24 dalam hidupnya.
Di usia yang
baru, Chintya merasakan ada perubahan yang signifikan dalam pola pikir dan
emosinya. Saat ini ia merasa lebih dewasa, ya, dari dirinya di tahun
sebelumnya. Ia sangat bersyukur, saat ini ia sudah bisa lebih tenang. Tidak
tergesa-gesa dalam memutuskan dan menyimpulkan sesuatu. Ia juga senang karena
emosinya lebih stabil. Ia juga sudah bisa mengurangi intonasi suaranya yang
biasanya tinggi.
Tok.. tok..
“Siapa?”
Tanya Chintya
“Cleaning
service, Nyonya Chintya”
“Apaan
sih, luuu. Masuk sini Ibuk Vani.”
Vani
masuk ke ruangan Chintya kemudian duduk di kursi nyaman dekat jendela dengan
melepas satu high heels dan membuat
kaki satunya dalam poisisi sila ke kursi.
“Chin..”
“Um?”
Chintya berlagak sibuk dengan laptopnya.
“Sok
sibuk lu, Bu Manager.”
“Hahaha,
iya iya. Apaan? Tumben nih apel.”
“Gimana
sama si Riko? Udah jadian?”
“Jadian
apaan? Enggak ada. Cuma temenan doang.”
“Tiga
mingu diapelin terus, dibawain makanan, diantar jemput.. akhirnya cuma jadi
temen, nih?”
“Nggak
tau.”
Hening. Chintya memulai membuka
dokumen dan Vina sibuk melihat pemandangan di luar jendela.
“Chintya,
yang kali ini mau ditolak lagi, nih?”
“Mungkin.”
Jawab Chintya sambil menyeruput wedangnya.
“Beneran?”
“Mungkin.”
“Yakin?
Sampai kapan sih, Chin?” tanya Vina membalikkan tubuhnya ke arah Chintya.
“Nggak
tau. Belum waktunya.”
“Terus
kapan waktunya? Aku capek tau jadi sasaran cowo-cowo kalau mereka mau deket
sama kamu. Soalnya ujungnya ditolak lagi. Kasian lagi, Chin. Lu tuh harus coba
buka hati deh. Trauma boleh, tapi.. yakali kan.. gapengen nikah lu ya?” Vina
berjalan menuju kursi di hadapan meja Chintya.
Chintya hanya
menghembuskan nafas dan tidak menjawab pertanyaan Vina. Kemudian Chintya
melanjutkan kegiatan dengan mendengarkan omelan Vina selama 15 menit non-stop.
Ya, memang Chintya cukup keterlaluan menurut Vina. Dalam waktu setahun, Chintya
sudah didekati lebih dari 10 pria tapi mereka semua tak ada yang berhasil
mengajaknya keluar untuk mengenal lebih jauh atau sekadar diperbolehkan telepon
di kala senggang.
Chintya
berhasil menolak semua ajakan dan tawaran mereka dengan berbagai alasan. Dari
alasan pandemi, banyak kerjaan, dan butuh me time. Chintya bahkan tidak
mengerti dengan hatinya, kenapa ia tidak bisa menerima seseorang untuk menjadi
kekasihnya.
“Hey, Chin.
Halo!”
Raka
menggoyang-goyangkan telapak tangannya untuk membuyarkan lamunan Chintya.
Chintya hanya tiba-tiba teringat akan apa yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Begitu mencintai seseorang dan kemudian dikecewakan. Hal itu membuatnya menolak
semua pria yang datang. Lalu hadirnya Raka, berhasil merubah hidup Chintya 180
derajat. Raka bukanlah jajaran teman kerja atau teman masa lalunya. Raka hanya
pria 27 tahun yang dikenalnya setahun lalu dari kedai kopi favoritnya karena
tragedi ketinggalan handphone sehingga tidak bisa membayar kopi yang ia
pesan.
“Chintya
Levronika. Gimana? Mau nggak jadi istri aku?”
Bibir Chintya
merapat. Pipinya bersemu merah dan ia hanya tersenyum dan mengangguk.
Karya baru yang beda... 👍
BalasHapusTerima kasih :)
Hapus