BEBAS (Sebuah Cerpen)

 

 

Selamat ulang tahun.. Selamat ulang tahun.. Selamat ulang tahun Clara.. Selamat ulang tahun..

Namanya Clara Fradella. Dan pada tanggal 28 Mei 2020, ia merayakan ulang tahunnya yang ke-20. Menginjak kepala dua adalah impiannya sejak lama. Ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar, ia memiliki keinginan yang kuat untuk segera menginjak kepala dua. Setiap ia meniup lilin di perayaan ulang tahunnya, ia hanya minta ingin mempercepat waktu agar ia segera sampai di umur 20. Menurutnya, kepala dua adalah umur kebebasan. Umur dimana ia bisa melakukan segala sesuatu yang ia senangi. Tapi masakkan dia harus ulang tahun dua kali dalam setahun agar segera mencapai umur tersebut? konyol.

Pagi ini ia duduk di bangku ayunan belakang rumah. Di tangan kanannya memegang segelas jus jambu segar buatan Bi Cucun. Ia melamun sambil tersenyum, mengingat kembali perayaan ulang tahunnya yang ke-20. Walaupun perayaan itu sudah lewat beberapa bulan, tapi tetap saja, momen itu masih menjadi momen prioritas di benaknya. Alasannya sudah jelas, inilah umur yang sangat ia tunggu. Umur gerbang kebebasan.

Saat ini Clara tengah menempuh kuliah di salah satu kampus negeri favorit di kotanya. Menempuh semester empat jurusan sastra Indonesia dengan pegangan IPK di tangan 3,90 membuatnya tak perlu risau tentang masa depannya. Seharusnya sih, begitu. Selain itu, ia juga sering juara menyanyi dan melukis. Ditambah lagi bentuk fisik serta penampilannya yang memenuhi standar kecantikan masyarakat Indonesia. Lengkap sudah. Kata orang-orang, Clara Fradella adalah sosok primadona paket komplit. Sayangnya Clara malah merasa ada perasaan kontra, perasaan yang bertolak belakang dengan ekspetasinya selama ini.

“Umurku sudah 20 tahun, tapi kenapa aku belum merasa bahagia?”

Gumaman itu selalu mengisi pikirannya ketika ia mengistirahatkan otak.

Kadang ia merasa hidupnya sudah sempurna. Tapi di sisi lain ia juga merasa tidak sempurna.

Handphone Clara berdering.

“Halo, pagi Clara cantik..” suara dari seberang yang selalu berhasil meluluhkan hari buruk Clara.

“Halo beb, tumben nih pagi-pagi telepon. Biasanya aku yang bangunin kamu. Kamu kan kaya kebo, susah dibangunin. Hehe.” Jawab Clara.

“Apaan sih beb? Hehe. Iya, nih, lagi rajin,”

“Syukur deh. Tiap hari ya, beb, kaya gini, jadi aku nggak perlu repot-repot mbangunin kamu.”

“Oh jadi kamu ngerasa repot beb bangunin aku? Cukup tau ya Clar. Aku sibuk. Bye.”

Tut.. tut..

Suara sambungan telepon berhenti.

Oke, ternyata ada hal lain yang membuat hidupnya tidak sempurna. Clara punya pacar toxic dan super posesif. Entah mengapa Clara tidak bisa putus darinya. Rasanya ingin selalu bersama walupun tiap hari Clara sedih. Dua tahun bersama Rico, pacarnya, dua tahun pula hari-hari Clara menangis karena disakiti oleh perkataan Rico. Ya.. bahkan hal-hal sederhana bisa membuat Rico marah. Ujung-ujungnya Clara lagi yang minta maaf.

Berbeda dari kejadian-kejadian sebelumnya. Clara tak jengkel kali ini. Ia meneguk jusnya alih-alih mendinginkan pikiran. Kemudian..

Ting tong.. Suara notifikasi sms. Ternyata itu dari e-commerce Sopi.

Clara senang berbelanja. Dan sampai saat ini Clara belum bisa mengendalikan 100% hobi buruknya itu. Hal itu menjadi buruk karena ia belanja melebihi budget bulanan. Dan sayangnya entah mengapa, semenjak ulang tahunnya yang ke-20, Clara tidak berani meminta uang kepada orang tuanya karena merasa sudah dewasa tapi pun ia tak punya uang. Ia sungguh gundah gulana. Apalagi ini sudah tanggal 5, Sopi menagih customernya yang menggunakan fitur Sopi paylater untuk segera melunasi utangnya. Baiklah, memang hidup Clara tidak sempurna.

“Non.. Non Clara..” Suara Bi Cucun yang mengagetkan lamunan Clara. Bibi berlari terbirit-birit ke arah ayunan tempat Clara bersantai.

“Iya, Bi? Ada apa kok lari-lari segala?” jawab Clara.

“Anu, non, anu..” jawab Bi Clara gelagapan. Mau menelan ludah untuk menenangkan tapi tenggorokannya kering.

“Kenapa, Bi? Santai aja,” jawab Clara menenangkan.

“Nyonya, non, eh, maksud saya Bunda, non..”

“Kenapa Bunda, Bi?” jawab Clara sambil menaruh gelas jus di sampingnya. Ia pun tengah memersiapkan ancang-ancang tubuhnya untuk segera berlari bila diperlukan.

“Aduh, maaf, Non. Bunda jatuh, non, di kamar mandi!”

Clara kaget, wajahnya menjadi pucat pasi. Ia segera berlari menjumpai Bunda yang tengah tergeletak. Hanya butuh beberapa detik untuk sampai ke kamar mandi utama. Clara segera membopong Bunda dengan bantuan Bi Cucun. Mereka meletakkan Bunda di kursi ruang keluarga. Maklum, itu tempat paling empuk, masuk akal, dan terdekat dari lokasi kejadian. Bi Cucun dengan sigap mengambil minyak kayu putih, sedangkan Clara komat-kamit memanjatkan doa pada Sang Kuasa agar ibundanya segera pulih. Lalu Clara juga segera menelepon dokter langganannya. Pak Edi namanya. Pak Edi adalah dokter langganan keluarga Clara. Ia biasa datang ke rumah Clara bila ada yang membutuhkan pertolongannya.

Sementara menunggu dokter Edi, Clara meletakkan tisu dengan minyak kayu putih di hidung Bunda dan tangan satunya menggoncang-goncangkan tubun Bunda. Di saat yang bersamaan otak Clara malah bercanda dengan berkata, kok malah seperti scene di sinetron indosair ya. “HUSH!” teriak Clara, reflek respons Clara terhadap benaknya sendiri.

“Eh, kenapa, non? Saya salah apa, non?”

Clara menepuk jidatnya sendiri kemudian berkata, “Nggak kok, Bi. Gumam aja.”

Sekarang sudah terbukti, hidup Clara tidak sempurna dan dalam dirinya ada gejala kurang waras. Bahkan disaat genting seperti ini, otaknya malah melawak.

Ting tong.. ting tong..

Suara bel gerbang rumah Clara. Bi Cucun paham akan tugasnya. Berlari sekencang-kencangnya untuk mendapati dokter Edi, kemudian menyilakannya masuk. Sesampainya di ruang keluarga, dokter Edi membuka peralatan, mengambil stetoskop dan memeriksa Bunda. Beberapa detik pemeriksaan, dokter Edi hanya manggut-manggut tanpa bicara. Please, Dok, jangan buat aku makin gila, gumam Clara.

Beberapa menit dokter Edi memeriksa Bunda. Setelah bermenit-menit kemudian akhirnya Bunda siuman. Dokter bilang Bunda darah rendah, ia kelelahan, pusing, akhirnya bisa terjatuh di kamar mandi. Kemudian dokter memberikan resep yang nantinya harus segera ditebus di apotek.

Hari ini benar-benar gila, gumam Clara.

Jam di dinding menunjukkan pukul 7 malam tapi suasana rumah Clara sudah sangat sepi. Biasanya Bunda akan meramaikan rumah dengan berbincang dengan Bi Cucun mau pun Clara di ayunan. Kadang juga di ruang tengah. Tapi malam ini Bunda harus istirahat lebih awal agar kesehatannya segera pulih.

Perasaan Clara jadi kacau. Rasanya seperti mual. Ia termenung di balkon kamarnya. Melihat langit yang juga sedang mendung. Rasanya Clara ingin menangis bersama hujan, tenggelam dalam riuh. Pikir Clara, cukup kegundahan ini Clara yang tanggung. Bunda tidak perlu tahu. Ini bukan hal yang baik untuk kesehatan Bunda.

Seminggu berlalu, keadaan tidak menunjukkan gejala membaik tapi malah sebaliknya. Beberapa nilai Clara menurun, ia tidak lagi bisa konsentrasi penuh pada studinya. Rico yang selalu mengganggu ketenangan Clara. Malah telinga Clara mendengar kabar bahwa Rico selingkuh dengan temannya. Uangnya semakin menipis, tapi untuk mencari uang, Clara sedang tidak enak hati. Ya, Clara merupakan orang yang hidup bergantung suasana hati.

Kacau. Kacau. Kacau.

Clara memutuskan untuk bolos kuliah dengan mengambil jatah bolos. Tak tanggung, ia mengambil tiga minggu penuh. Tentu saja ini menjadi berita viral selingkup jurusannya. Clara tak peduli. Ia hanya ingin menenangkan diri.

Seminggu telah lalu, kegiatan rutin Clara hanya seputar makan, mandi, bermain media sosial, dan merawat Bunda. Dan hanya perlu waktu seminggu, Clara Fradella menjadi sosok perempuan berkantung mata hitam, rambut kusam, badan kering, dan perut buncit. Tidak ada olahraga, tidak ada makan sehat. Selama seminggu ia justru overthinking tiap ada celah kosong di benaknya. Memikirkan segala hal dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Bahkan memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Segala pilihan dalam hidup. Tapi sayangnya tak ada tindakan nyata dari segala pemikirannya tersebut.

Hidup Clara menjadi amburadul. Bahkan Rico tak pernah menjenguk atau sekadar menelepon Clara. Padahal ia tahu bagaimana kondisi Clara dan keluarganya. Dua minggu terlewati dengan perubahan yang memburuk. Badan Clara dingin, sepertinya ia demam. Bi Cucun telah mengusahakan yang terbaik, tapi Clara mengelak, menyangkal penyakit yang ia alami.

Di hari ke-19 dalam masa bolosnya, yang berarti dua hari lagi ia harus kembali ke kampus, akhirnya ia bisa bebas. Malam itu Clara merasa bahagia. Ia diliputi perasaan tenang, damai, suka cita yang tak pernah ia rasakan selama hidupnya. Rasa senang ini melebihi bisa makan sepuasnya atau bisa belanja sesuka hati. Lebih dari itu. Rasanya ia bebas. Malam itu ia pergi kemanapun ia mau. Ia mengunjungi kamar Bunda, ia menjenguk Ayah dan kakaknya di luar kota, ia pergi ke pertokoan untuk mencari model pakaian terbaru yang bisa ia kenakan saat kembali ke kampus nanti, ia pergi ke taman, ke tempat hiburan. Ia merasa bebas.

Berlama-lama di luar saat malam hari membuat tubuhnya menggigil. Ia mengecek jam di tangannya, ternyata sudah pukul 12 malam. Ia harus bergegas pulang. Sesampainya di kamar ia melihat dirinya tidur. Ia bingung, siapa orang yang mirip dengan dirinya itu. Tiba-tiba ada suara yang mengagetkan dirinya.

“Clara..”

“Ya.. Siapa kamu? Siapa yang berbicara ini?”

“Clara..” Suara itu terdengar berat dan berwibawa.

“Ya? Tunjukkan dirimu! Apa maumu?”

“Clara..”

“Ya.. jawab aku!” Suara Clara menjadi parau.

“Clara..”

“Ya..” Clara menangis.

Clara tak melihat siapapun di kamarnya kecuali tubuh yang mirip dengan dirinya. Tubuh itu terlihat tidur pulas.

“Belum waktumu untuk pulang. Kembalilah, tugasmu belum selesai, jadilah wanita tangguh seperti namamu. Clara Fradella, wanita tegas yang bertanggung jawab dan membawa damai,”

Langsung saja Clara bangun dari tidurnya. Ia bangun dan merasa sangat dingin. Ia berteriak-teriak memanggil Bi Cucun. Bersyukurnya Clara punya seseorang seperti Bi Cucun: tanggap. Bi Cucun segera mengambil kompres, makanan, dan minuman hangat untuk majikannya. Malam itu Clara baru menyadari bahwa dirinya begitu lemah. Ia sempat berkaca setelah minum obat. Ia melihat dirinya bukanlah Clara yang selama ini ia lihat. Ia adalah Clara Fradella yang redup. Ia menitikkan air mata, tapi tak mau terlena. Ia segera tidur. Clara Fradella sudah siap untuk menyambut esok pagi dengan semangat.

Pagi telah tiba, Clara segera mandi, mencuci rambutnya, sarapan sehat, berolahraga ringan. Rasanya badannya telah sembuh. Ia tak tahu apa yang terjadi tadi malam, yang pasti suara itu membangkitkan semangat hidupnya kembali. Clara Fradella pagi itu seperti mendapat wahyu dari Tuhan. Ia akhirnya berani untuk memutuskan Rico. Ia membiarkan Rico bahagia dan selingkuhannya. Ia menerima bahwa hidup tidak sempurna dan ketidaksempurnaan itu bukan menjadi alasan dirinya harus meringkuk dalam selimut. Kelemahan yang ia punya harus ia tutupi dengan kelebihan-anugerah dari-Nya. Ia sangat bersyukur.

Sepertinya memang aura positif Clara hari itu terpancar ke penjuru rumah. Hal itu membuat Bunda memiliki semangat untuk segera pulih, tidak lagi bermanja-manjaan di atas kasur. Bi Cucun juga semakin semangat mengerjakan pekerjaan rumah.

Sore itu, setelah mandi, Clara datang ke kamar Bunda. Ia juga memanggil Bi Cucun ikut serta.

“Bun, gimana? Merasa udah enakan?”

Bunda hanya mengangguk dan tersenyum. Bunda sedang duduk dan bersandar di bantal yang terletak di dinding.

Clara menghela nafas sebelum akhirnya membuka percakapan lagi.

“Bun, Clara minta maaf.”

“Kenapa sayang?”

“Clara belum bisa jadi anak yang berbakti sama Bunda, sama Ayah, sama kakak. Clara belum bisa mengolah uang yang Ayah dan Bunda kasih. Clara belum bisa menjadi anak yang Ayah-Bunda banggakan. Bunda sama Ayah udah nguliahin aku mahal-mahal, aku malah bolos tiga minggu. Nilai-nilai aku malah turun. Maafin Clara, Bun.” Clara menundukkan kepala.

“Gapapa sayang. Hidup memang tidak akan pernah menjadi sempurna. Apalagi sempurna versi kita. Setiap masalah yang datang pasti membawa pelajaran. Bunda percaya Clara gadis kuat. Bunda nggak bisa nemenin kamu di setiap kegiatanmu, bunda cuma bisa mendoakan yang terbaik buat gadis bunda. Jadilah anak yang berguna di manapun kamu berpijak, jadilah sinar dan inspirasi untuk orang lain, sayang. Bunda nggak nuntut kamu ini itu, bunda percaya kamu sudah tau apa yang baik untuk hidup dan masa depan kamu.” Bunda menarik tangan Clara. “Sini sayang, peluk.”

Sementara itu, Bi Cucun menangis tersedu-sedu melihat apa yang baru saja dilakukan majikannya.

“Yah.. Bi Cucun kok nangis, sih. Cengeng ah. Hahaha” Clara juga ikut menangis terharu.

Ya.. hidup tidak akan pernah menjadi sempurna. Tapi aku bisa menjadi versi terbaik dari diriku sendiri, gumam Clara dalam pelukan Ibunda.

Tak sampai di situ, malam itu ia ingin mendapat penjelasan ilmiah dari perubahan hormon dalam tubuhnya dan segala pikiran yang selalu muncul dalam benaknya. Ia menggunakan gawainya untuk berselancar internet. Akhirnya ia mendapat jawaban. Bahwa ternyata, yang ia alami adalah Quarter Life Crisis atau biasa disebut QLC. Fase ini memang berat tapi bukan hal yang aneh. Fase QLC adalah fase yang wajar yang pasti akan dilewati setiap orang. Fase ini muncul mulai umur 20-35 tahun. Rata-rata seseorang akan menjadi depresi bila tidak segera mengendalikan perasaan dan emosionalnya. Durasi dari fase ini juga bergantung seberapa cepat seseorang sadar akan apa yang ia alami dan seberapa sigap ia dalam mengambil tindakan.

Setelah puas memelajari QLC, Clara berjalan menuju kaca. Ia melihat dirinya. Ia terkekeh. Ia menertawakan dirinya yang salah kaprah dalam menanggapi QLC. Bersyukur saat ini ia sudah sadar dan mengendalikan dirinya. Clara tertawa makin keras. Menertawakan kebodohannya beberapa minggu ini. Bi Cucun yang mendengar gelagar tawa Clara segera mengetuk pintu kamarnya. Tapi Clara tidak segera menjawab. Ia malah membaringkan tubuh di kasur kemudian teriak pada Bi Cucun “I’m okay, Bi.”

Malam itu, Clara tak lagi overthingking. Tak ada lagi hubungan toxic, tak ada lagi tagihan Sopi. Rasanya semua berputar kembali di porosnya. Ia segera tidur kemudian bermimpi indah.

 

Gempol, 22-25 Oktober 2020.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku (Cerpen)

Rani, Manusia Ajaib yang Tidak Bisa Menangis (Cerpen)

Antologi Puisi (Bagian 5)