DIA (Sebuah Cerpen)
Dia
Oleh Margaretta Puspa
Dewi
Dia menceritakannya begitu
sederhana. Begitu alami dan mudah dipahami. Mengalir layaknya air yang menurut
pada aliran arus. Tapi begitu melekat hingga tak pernah terlupakan.
Pria itu berbadan jangkung.
Tubuhnya gemuk tapi tidak gendut, sedikit kurus. Ya, tubuhnya proposional
dengan badan jangkungnya. Kira-kira 190 cm dengan massa badan 90 kg. kulitnya
putih tapi masih masuk akal untuk ukuran kulit orang Jawa. Rambutnya lurus ke
samping. Dipotong biasa saja, tidak neko-neko. Parasnya elok tapi ya..
tidak seperti artis yang biasanya muncul di televisi. Tapi setidaknya bila kamu
menggandengnya ke kondangan, orang-orang akan berbisik bahwa pria itu tampan.
Siapa dia? Tiba-tiba datang tanpa
petunjuk. Membuat hari-hariku berantakan. Pagi ini ia menjemputku di depan
rumah. Dengan sepeda supra kesayangannya dan helm putih yang sudah agak
kecoklatan karena terlalu sering dipakai. Ia memencet bel rumahku. Kebetulan
Ayah baru jogging keliling kompleks. Timing yang tepat. Ia
bertemu dengan ayah. Dengan senyumnya yang manis dan dewasa itu, Ayah langsung
yakin bahwa dia adalah calon menantu yang tepat bagi putrinya.
Aku sebetulnya sudah siap di
balik gorden jendela. Aku hanya pura-pura tidak tahu bahwa dia datang atau
mungkin lebih tepatnya aku tidak ingin berangkat bersamanya. Siapa yang mau
berangkat dengan orang asing?
Ku putuskan untuk mengambil bogo
merah jambuku kemudian berpamitan kepada Ayah dan Ibu lalu segera berangkat ke
kantor. Sepertinya hari ini adalah hari kesialanku. Jalanan ibu kota begitu
padat. Ditambah cuaca yang sangat panas dan debu jalanan. Lengkap sudah.
Kutengok jam di tangan dan.. waktu sudah menunjukkan bahwa aku sudah telat 5
menit dari jam ceklokku.
“Kamu bisa lebih cepat ga
nyetirnya?” kataku sambil sedikit memajukan kepalaku kepadanya.
Maklum hal ini harus aku lakukan.
Dengan tinggi 160 cm aku harus memberi tanda bahwa manusia kecil di belakangnya
ingin protes karena dia melajukan sepeda tuanya dengan begitu lamban.
“Ini udah yang paling cepet.”
Jawabnya santai.
“Kamu pengen aku dipecat?” kataku
sambil meninju bahu kanannya dengan kepalan tanganku.
“Nggak.”
“Yaudah jalannya lebih cepat! Tau
gitu aku naik taksi aja tadi.”
“Oh jadi kamu pengen naik taksi
aja? Mau diturunin di sini?” katanya dengan nada tenang.
“Heh! Kamu gila ya!? Nggak,
jangan bercanda. Aku harus sampai kantor sesegera mungkin.”
“Iya.”
Ia hanya menjawab ‘iya’ dengan
datar. Ini manusia siapa sih? Membuatku gila.
Setelah 12 menit dengan gerutuan
akhirnya aku sampai di depan pos satpam. Aku menyuruhnya untuk berhenti di sini
saja. Biar aku segera berpisah dengannya.
“Mana helmnya?”
Baru saja aku hendak bahagia
karena mau berpisah, bisa-bisanya manusia ini masih melontarkan kata-kata
padaku.
“Ini helmku. Kamu mau malak
helmku? Kurang puas ya ngerjain aku?”
Ia menghela nafas kemudian
menjawab, “Kamu pelupa. Kemarin udah pulang telat, hujan, nyampe bawah malah
helmnya ketinggalan di meja. Sini helmmu, biar aku yang bawa. Dasar pikun!”
Geram sekali rasanya dengan
manusia satu ini. Aku betul-betul lupa bagaimana aku bisa sampai di titik ini
dengan dia. Karena aku ingin segera pergi jadi aku langsung memberi helmku
padanya kemudian berlari ke arah gedung kantor.
Sesaat aku berlari aku mendengar
dia berteriak padaku, “Sama-sama!”
Hm, manusia merepotkan. Akhirnya
aku berhenti, siap-siap memasang wajah paling ketus, judes, dan jahat. Kemudian
membalikkan badan. “Makasih!”
Pekerjaan hari ini sungguh
melelahkan. Jam kerjaku hanya sampai pukul 17.00. ini berarti 10 menit lagi aku
bisa keluar dari gedung ini. Aku memersiapkan tasku dan bersiap pulang. Dan
ternyata manusia ini sudah tiga kali menelepon bahwa dia sudah berada di bawah.
Sebagai rasa menghargai, ku kirim pesan singkat yang bertuliskan, ‘iya, sabar.
Gausa cerewet. 10 menit lagi aku sampai bawah’. Dan ternyata tidak ada balasan.
Manusia ini memang terbuat dari batu.
Pukul 17.10 aku sampai di depan
sepedanya. Dia menoleh dan memberikan helm padaku. Helmku yang tadi pagi ia
minta. Ia memintaku untuk segera naik. Tanpa bertanya terlebih dahulu, kami sudah
berhenti di depan restauran bintang 4 di kota ini.
“Ngapain berhenti di sini?
Perasaan aku nggak request makan deh.” Kataku protes.
“Kalau kamu nggak makan nggak
papa. Aku laper, mau makan. Kamu mau nunggu di sepeda juga gapapa.”
Rasanya ingin ku jawab dengan
menjambak rambutnya yang klimis itu dan mencakar wajahnya.
“Enak aja, kalau kamu makan aku
juga ikut.”
Dan dia hanya menjawab,
“terserah”. Lalu ia menggandeng tanganku sambil melangkah masuk.
Aku bingung, tapi ya sudahlah.
Aku hanya menurut.
Ternyata dia sudah pesankan meja
di sudut terbaik di tempat ini. Ia memilih lantai rooftop dengan meja paling
ujung kanan. Dari meja kami, terlihat gemerlap lampu kendaraan, rumah-rumah,
dan gedung menyala. Berwarna-warni dan sungguh cantik.
“Malah ngelamun, cepet pesen
makanan.”
Baru saja aku merasakan sedikit
kedamaian dari penatnya bekerja hari ini. Bisa-bisanya aku punya dua bos.
Masalahnya yang ini tidak menggajiku.
“Aku pesen makanan yang sama kaya
kamu aja. Aku ga kenal sama nama makanannya.” Kataku.
Lalu ia memesankan dua menu yang
sama. Aku memandang dia yang sedang menatap langit senja.
“Cukup tampan. Sayang galak.
Gajadi suka deh,” gumamku dalam hati.
“Ngapain kamu ngeliatin aku
sambil senyum? Aku tau aku ganteng, tapi apa kamu gamalu orang lain ngeliatin
kamu senyum-senyum sendiri.” Katanya yang lagi-lagi membuyarkan momen syahduku.
“Apaan sih, aku ga lihat kamu.
Aku lihat lampu belakangmu, noh!”
Makanan datang dan kami
memakannya dengan lahap.
“Tadi katanya ‘aku nggak request
makan’. Tapi habis duluan.” Komentarnya setelah melihatku menghabiskan makanan
dan minumanku.
“Berisik, cerewet!” kataku sambil
mengelus perutku yang kekenyangan. “Oiya, kamu siapa sih?”
Dia melihatku dengan satu alis
terangkat kemudian berdiri dari kursinya lalu mendekatkan badannya ke arahku.
Dan tiba-tiba, telapak tangannya mendarat di dahiku.
“Panas, wah fix, kamu
kecapean dan ada gejala gila. Hahaha.” ia berkata seperti itu tanpa rasa
bersalah.
Aku hanya diam, tetap menikmati
rasa kenyangku. “yasudahlah, bodo amat dia siapa, yang penting malam ini aku
ditraktir dan pulang ke rumah dengan selamat.” Gumamku.
“Jes, makanannya habis 500 ribu.
Patungan apa mau utang aku dulu?”
Aku tak bisa berkata-kata.
Benar-benar ingin kujitak kepalanya lalu kudorong badannya dari lantai rooftop.
“Utang kamu aja, deh” kataku
sambil mengabaikan mukanya.
Aku sampai rumah pukul 20.30.
Sesegera mungkin aku mandi lalu tidur. Ternyata ada pesan dari dia. Kukira
ingin bilang suatu hal yang romantis. Tapi isi pesannya adalah “Jangan lupa
bayar utangmu. 😊”. Ku banting hapeku ke kasur lalu aku tidur.
Keesokan harinya dan hari-hari
berikutnya berjalan seperti biasa. Tapi lama-kelamaan ada rasa yang tak biasa.
Terlebih lagi waktu dia sakit dua hari yang lalu sehingga tak bisa
mengantar-jemputku. Rasanya seperti kehilangan.
“Eh, wait, kehilangan?
Sepertinya aku mulai tidak waras. Bagaimana aku bisa suka dengan orang yang
bahkan sampai saat ini aku tidak tahu namanya? Tapi mengapa aku tidak khawatir
dengan keselamatanku saat bersamanya?” tanyaku pada diriku sendiri.
Sore ini aku menunggunya di depan
pos satpam. Tak seperti biasanya, kali ini malah aku yang menunggunya. Dia
tidak memberi kabar apapun. Yasudah, aku menunggu saja di pos satpam. Jam sudah
menampilkan pukul 18.00 dan dia belum datang. Ku putuskan untuk mengirim sms
padanya. (bahkan nomornya belum kusimpan di kontakku). Lima belas menit dan
tidak ada jawaban. Entah mengapa tapi seperti ada dorongan aku harus mencari
tahu keberadaannya. Rasanya hatiku tidak enak.
Aku memesan ojol kemudian
melesat ke kantornya. Di tengah perjalanan, sepeda ojol kami tidak bisa
bergerak, ku tanya pada Pak Ojol, ia menjawab di depan sepertinya ada
kecelakaan. Karena macet ini begitu lama, akhirnya aku turun dari sepeda dan
meminta Pak Ojol untuk stay di tempatnya. Aku ingin mengecek
kecelakaan apa yang terjadi di depan sana.
“Oh my!” seruku. Di tempat
kejadian perkara ada helm ku dan helm manusia nyebelin tergeletak dan kaca
depannya tergores-gores. Aku panik, aku harus tahu siapa yang kecelakaan. Aku
tanya sini-situ dan akhirnya menjawab, “korban sudah dilarikan ke rumah sakit.”
Aku berteriak pada Pak Ojol
bahwa aku harus segera ke rumah sakit walaupun harus dengan berlari. Ku katakan
padanya akan kubayar lewat uang elektronik.
Sesampainya di rumah sakit aku
segera menuju UGD dan sesuai dugaan, yang kecelakaan adalah manusia nyebelin.
Aku sempat melihat wajahnya dari jauh sebelum ditutup dengan kain putih aku
sontak menjerit dan menangis sekeras-kerasnya.
Tiba-tiba aku merasakan sedikit
pusing. Telingaku begitu bising dengan suara orang-orang yang berkata-kata.
Tidak begitu jelas, tapi samar aku mendengar ‘sadar, dia menangis, segera
panggil dokter’. Kenapa? Aku dimana?
“Sayang kamu sudah sadar?” suara
itu bercampur isak tangis.
Aku hanya mengerutkan dahi. Di
pikiranku aku masih sangat kehilangan si manusia nyebelin. Lalu ada dokter dan
suster masuk memeriksa segala selang dan alat kesehatan yang menempel di
ragaku. Dan aku mendengar dokter mengatakan bahwa aku telah sadar. Aku masih
belum paham situasi ini. Setelah beberapa menit membuka mata dan mengamati
keadaan sekitar. Aku sadar, saat ini aku ada di rumah sakit.
“Puji Tuhan kamu sadar, nduk.
Kami rindu sama kamu.” Kata Ibu terisak-isak melihatku sambil memegang erat
telapak tanganku.
“Aku dimana, Bu? Kenapa aku bisa
di sini?”
Ibu menjelaskan bahwa aku koma
selama seminggu.
Setelah aku benar-benar pulih
(aku butuh tiga hari lagi setelah masa siumanku untuk diizinkan meninggalkan
rumah sakit), akhirnya aku diizinkan pulang.
Aku berjalan keluar kamar rawat
inap dengan digandeng kakakku. Waktu sampai di parkiran, mobilku terjebak oleh
mobil Mercy hitam yang entah mengapa tidak berjalan sehingga terpaksa mobil
kami menunggu selama beberapa menit. Tidak segera berjalan, pengemudi mobil itu
keluar dan mengetuk jendela bagian pengemudi dan berkata “Maaf, Pak, sepertinya
bensin saya habis dan mobil saya mogok. Mungkin sedikit perlu waktu, saya
berusaha mendorongnya dulu ya, Pak. Mohon maaf.” Ayah belum menjawab ia
sekelebat melihat ke arahku. Mata kami bertemu dan langsung reflek kami
berteriak “Kamu??!”
Orang-orang di dalam mobil
bertanya apa kami saling mengenal. Tidak ada jawaban dari kami. Tapi aku ingat
betul, pria ini adalah manusia nyebelin yang menemaniku saat aku koma.
Gempol, 31 Oktober 2020
19.30 WIB
Pagi-pagi baca yg ringan2 luamyan bikin semangat. Mantep 👍👍
BalasHapusTerima kasih :)
Hapus