Pertemuan (Cerpen)

 Pertemuan

Oleh Margaretta Puspa Dewi

 

Aku bergeming menatap layar putih di laptopku, entah sudah berapa lama—tak sadar. Aku terhanyut dengan riuh renyah perbincangan kerumunan orang di kafe ini. Memandang belasan, salah, puluhan orang berlalu lalang. Laju yang tiada henti. Ditambah lagi instrumen jazz yang menenangkan, yang diputar oleh barista kafe. Kopiku yang awalnya memang tak manis menjadi hambar karena es batunya telah mencair diluluh waktu. Brownis cokelat hangatku pun telah ikut dingin seperti perasaanku padanya.

Malam itu kami bertengkar hebat. Tangisku membuncah saat intonasi tinggi keluar dari mulutnya. Bukannya kelembutan yang menenangkan, yang kudapat malahan amarah yang membara. Dua jam sudah kami berkeliling tak tentu arah. Niat kami menyelesaikan masalah, tapi yang ada hanya keheningan. Selalu seperti ini, pekikku dalam hati. Aku hanya bisa berprasah membuang waktuku sia-sia seperti ini. Waktu terbuang, uang terbuang, tenaga terbuang—sia-sia.

Tiga minggu lagi tahun baru. Keluargaku berencana akan berlibur ke mama kota. Tempat yang memiliki energi tak terbatas, manusia saling adu di sana. Ada yang mendapat berkah keberuntungan, ada pula yang kebuntungan. Untungnya keluargaku hanya sekadar berlibur di sana. Berlibur kok di kemacetan?

Kupikir, saat itulah yang tepat. Saat aku take off, akan kuputuskan dia, kumatikan gawaiku alih-alih mode pesawat karena memang begitu seharusnya. Harinya pun tiba. Aku melancarkan aksiku. Tangisku sudah kering. Puluhan malam sudah kuhabiskan air mataku hingga muaranya pun ikut kering. Hubungan beracun ini harus segera diakhiri.

Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, sampailah aku di mama kota negara ini. Hatiku gelisah bercampur senang. Senang karena akhirnya sudah berani memutuskan lelaki ini, sekaligus gelisah karena apa lagi yang akan dia lakukan setelah ini? Dua tahun bersama membuatku cukup kenal dengan kepribadiannya. Kadang begitu manja dan romantis, kadang begitu kejam dan bengis, kadang menjadi kakak, kadang menjadi anakku (namun lebih sering menjadi musuhku). Dia tipikal lelaki yang tidak akan tinggal diam bila terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan. Aku begitu gelisah memikirkan rencana racun apalagi yang akan dia lakukan.

Sesampainya di hotel, dengan perlahan, aku mematikan mode pesawatku. Aku melakukannya dengan amat perlahan dan sambil menutup mata, sungguh. Benar, dia mengebom chat Whatsappku dengan ratusan pesan. Tak hanya itu, pesanku di grup komunitas (kami juga satu komunitas) pun dibalas dengan diksi yang sengak. Dia memperlakukanku seolah aku tidak hidup. Dia memang pernah berkata bila kami berpisah, dia akan menganggapku tiada di muka bumi ini. Dia juga bilang bahwa lebih baik aku meninggalkan komunitas dan pergi dari wilayah itu. Konyol, pikirku. Siapa dia berani memerintaku seperti itu?

Sejujurnya aku takut, jadi pesannya tak kubalas. Kubiarkan terbaca tanpa jawaban. Begitu pula di grup komunitas, aku membalas chat-chat teman seolah dia tak ada di situ. Jangan dikira dia bertingkah sebatas itu. Dia juga mulai memprovokasi orang-orang di sekitar kami dengan cara bercerita melalui sudut pandang yang menyudutkanku. Sejak hari itu, orang-orang terprovokasi. Semua orang membicarakan betapa jahatnya aku, betapa tidak tahu dirinya aku, betapa kejinya aku memutuskan pria yang dianggap idaman oleh orang-orang hanya karena dia sesuai standar tampan masyarakat. Sebagai manusia biasa, aku ingin membalas perbuatannya, tapi sahabatku bilang tidak perlu. Katanya, biar waktu yang menunjukkan kebenarannya.

Betul saja, dua minggu setelah deklarasi perpisahanku, aku melihat story Instagramnya jadi dengan perempuan yang kucurigai selama ini. Feeling perempuan tulus tak pernah salah. Aku tersenyum melihat story itu. Tersenyum puas karena dugaanku benar.

Hari ini sudah 4 tahun berlalu sejak kejadian itu. Aku benar-benar sudah tidak sewilayah dengannya. Bukan karena aku mengabulkan perintahnya, tapi karena alasan pekerjaan. 

Suatu ketika, dia chat duluan. Padahal aku ingat betul dia memaki sambil bersumpah serapah bahwa dia tak akan mengirim chat duluan. Lucunya hidup ini. Dia mengirim chat yang berisi permintaan maaf karena segala cacian dan makiannya padaku dulu. Minta maaf karena seharusnya dia tak perlu segengsi itu untuk minta maaf. Baguslah kalau aku menjadi pelajaran berharga yang dia akan aplikasikan pada hubungannya saat ini. Kubalas pesan dia seadanya.

Aku mengiris brownies cokelatku dengan garpu kecil. Lamunanku buyar karena pupil mataku menangkap sosok yang coba kuhapus dalam daftar orang dalam hidupku. Yang kutemukan malam ini tak seperti saat itu. Tubuh binaragawannya sudah berubah menjadi perut khas bapak-bapak. Rambutnya yang cepak sudah menjadi lebih panjang daripada yang biasanya. Tatapannya yang ramah sudah tak lagi ramah—berubah menjadi sorot mata datar tanpa harapan. Anehnya, dengan jarak kurang dari 10 meter, bau harum yang amat familiar dengan penciumanku tak lagi ada. Baunya menjadi samar, seperti membaur dengan orang-orang yang ada—kehilangan ciri khasnya. Apa yang terjadi? Aku mencari tahu via media sosial. Kau tahu skill stalk perempuan setara dengan intel FBI kan?

Oh! Aku tahu alasannya. Dia pernah mengaku bahwa dia adalah laki-laki yang tidak bisa hidup tanpa cinta. Mungkin itu alasannya, respons tabiat tak berkesudahan berulang kembali. Mungkin dia sedang mendapat karma, mungkin(?)

Kupikir, hidup ini penuh kepingan puzzle yang sulit dicerna. Banyak premis yang belum ketemu tali penghubungnya. Segera kualihkan pandanganku pada laptop yang masih berlayar putih. Berharap ini membuat aku tidak akan teridentifikasi. Kubiarkan rambut panjangku terjuntai berantakan. 

“Rani?”

Mata kami bertemu. Mengeluarkan kembali sekilas perasaan-perasaan kuno.

“Dani?” aku menjawab sapaanya dengan terbata-bata. Bodoh.

“Kamu sendirian? Kursi ini kosong?”

Kacau.

“Aku gabung di sini ya? Katanya semua kursinya penuh.”

Malam itu menjadi malam yang amat panjang bagiku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku (Cerpen)

Rani, Manusia Ajaib yang Tidak Bisa Menangis (Cerpen)

Antologi Puisi (Bagian 5)